Kepergianmu mengajariku sebuah kesalahan. Seolah menjadi manusia paling bersalah ketika menyuruhmu menjauh dari duniaku. Kau tahu kalau aku begitu terpukul saat menyadari kehilangan itu bukanlah hal yang sederhana. Ya, aku terus-menerus menyesal dan menyalahkan diri mengapa kau kusia-siakan. Memberimu kekecewaan dan sedikit luka tapi pasti tak akan sembuh. Aku tahu, aku telah merusak keadaan yang kau bangun denganku.
Dengan hari-hari yang berantakan diselingi perasaan yang tidak pernah tenang, berkeras hati untuk biasa-biasa saja. Tapi, tetap saja segala hal mengarah kepadamu. Menyerah bagiku adalah kelemahan dan hal itu sama saja dengan meminta maaf dan memohon kedatanganmu lagi. Aku belum mau menyerah saat itu. Aku masih sombong dengan hati yang membatu. Aku bukan kau yang mengiyakan segalanya agar semua terpenuhi dengan porsinya masing-masing. Aku ini bergelombang, berliku, dan tidak meneguh pada satu.
Menghitung waktu tanpamu justru menyiratkan penyesalan dan rasa iba pada diriku sendiri. Berkali-kali kucoba untuk meminta maaf tapi selalu terbentur dengan egoku. Sekuat apapun kupaksa, masih saja mereka memenangkan bertarungan. Lama dan panjang, semakin basi dan kabur. Akupun mulai muak dengan kondisi yang tertekan dan menyiksa apapun di dalam tubuhku, di sekitarku. Banyak tempat, suasana, simbol, dan tanda yang menarikku ke dalam ingatan akan kau.
Akhirnya, hari ini, apapun itu, segalanya harus kulawan agar bisa meminta maaf padamu. Awalnya egoku membanting fikiranku ke arah lain. Namun kau harus tahu, ternyata ada secuil perasaan aneh yang bisa melawan balik rasa egoku itu, perasaan yang kuharapkan kau tak bertanya tentang apa itu. Jelasnya, hari ini aku sukses meminta maafmu dan kau memberikannya.